![]() |
Menkes, Bupati Jember Faida dan Kadinkes Siti Nurul |
Bupati Jember dr Hj Faida, MMR dan Kepala Dinas Kesehatan dr
Hj Siti Nurul Qomariyah, MKes turut hadir dalam pertemuan yang juga dihadiri Menkes
dan Wapres Jusuf Kalla tersebut.
“Kami dengan
dukungan Kemenkes tetap berkomitmen bahwa di Jember harus ada penurunan angka
bayi stunting,” ujar Bupati Faida Rabu petang seusai acara dalam keterangannya
kepada media.
Mantan Direktur
Rumah Sakit Bina Sehat ini menyatakan bahwa beberapa hal yang bisa dilakukan
yakni, adanya Intervensi Kementerian Kesehatan dalam upaya perbaikan gizi
dibagi menjadi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
“Untuk intervensi
gizi spesifik dilakukan melalui pemberian TTD dan promosi serta suplemen gizi
makro dan mikro. Selain itu juga dilakukan penatalaksanaan gizi kurang/buruk,
pemberian obat cacing dan zinc untuk manajemen diare. Intervensi ini disusun
berdasarkan siklus hidup,” jelas Bupati Faida.
Sedangkan Kepala
Dinkes Pemkab Jember Siti Nurul mendampingi Bupati Faida setelah acara menyampaikan
untuk intervensi gizi sensitif dilakukan melalui pemantauan tumbuh kembang.
“Kedepan kita
juga himbau soal penyediaan air bersih, pendidikan gizi, imunisasi,
pengendalian penyait, penyediaan jaminan kesehatan, PISPK, NS serta akreditasi
puskesmas dan rumah sakit,” katanya.
Berdasarkan data
resmi Dinas Kesehatan Pemkab Jember menyebutkan, angka bayi stunting di Jember
ternyata masih ada meski angkanya belum signifikan. Dalam dua tahun terakhir,
Dinkes Jember mencegah dan mengantisipasi adanya kelahiran bayi stunting.
Setidaknya ada 10
desa potensi terdapat bayi stunting dengan pengobatan kecacingan diantaranya,
Desa Ngampelrejo Kecamatan Jombang, Desa Purwoasri Kecamatan Jombang, Desa
Glagahweroh Kecamatan Panti, Desa Cangkring Kecamatan Jenggawah, Desa Tempurejo
Kecamatan Tempurejo, Desa Jelbuk Kecamatan Jelbuk, Desa Patempuran Kecamatan
Kalisat, Desa Gambiran Kalisat, dan Desa Sukogidri.
Deputi Bidang
Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK, dr. Sigit Priohutomo, MPH dalam acara tersebut
mengungkapkan bahwa bayi stunting tidak hanya terjadi di desa namun juga di
kota.
“Stunting nggak
harus di desa terpencil, 33% stunting ada di kota. Pendidikan tinggi juga bisa
stunting karena masalahnya salah asuh jadi menyebabkan stunting,” tuturnya.
Berdasarkan data
Riskesdas 2013, stunting di Indonesia masih cukup tinggi yaitu mencapai 37%.
Jumlah ini sama dengan sekitar 9 juta balita mengalami stunting. Sementara, di
usia produktif, anak dengan stunting memiliki penghasilan 20% lebih rendah
dibandingkan anak yang tumbuh optimal.
“5 provinsi
dengan angka stunting tertinggi di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur 51,73%,
Sulawesi Barat 48,02%, Nusa Tenggara Barat 45,26%, Kalimantan Selatan 44,24%,
Lampung 42,63%,” kata Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Ir. Doddy
Izwardy, MA.
Selain itu,
stunting juga mempengaruhi tingkat kecerdasan. Di mana lebih banyak anak yang
ber-IQ rendah dikalangan anak stunting dibandingkan anak yang tumbuh optimal.
Akibat stunting, kerugian negara tercatat mencapai sekitar Rp 300 triliun
pertahun.
Karena itu
stunting menjadi masalah bersama yang harus ditangani segera karena berdampak
pada multisektor. Untuk mengatasi stunting, sejumlah kementerian dan lembaga
telah menyiapkan anggaran.
“Mudah-mudahan
dengan adanya Stunting Summit bisa mengatasi stunting di Indonesia,” pungkasnya.
Stunting adalah
kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan ia
lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya, hal itu masih menjadi masalah
kesehatan serius di Indonesia
Pada tingkat individu,
stunting bisa menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan fisik, kegemukan
sehingga rentan mengidap berbagai penyakit termasuk penyakit tidak menular.
Ketika dewasa, stunting juga mengakibatkan anak sulit berprestasi.
Posting Komentar untuk "Pemkab Jember Komitmen Turunkan Angka Balita Stunting"