Menurutnya jika melihat batas waktu yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
seharusnya deadlock tidak perlu terjadi.
“Di dalam proses pembahasan RAPBD harus
ada kesadaran untuk meletakkan dasar-dasar prinsip penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang baik dan bersih yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian,
kecermatan, dan kepentingan umum, serta bebas dari konflik kepentingan,”
tuturnya.
Dia sadar, di berbagai daerah terjadi
kealotan dalam pembahasan antara eksekutif dengan DPRD. Kata Bayu, dalam
pengamatannya, proses persetujuan RAPBD terjadi kealotan karena berbagai hal
yang terkadang bukan karena faktor-faktor perencanaan anggaran itu sendiri.
“Kadang bisa karena faktor-faktor lain
diantaranya seperti politik partisan untuk Pilkada berikutnya, politik
transaksional atau tukar menukar kepentingan, maupun permintaan-permintaan
tertentu yang berujung pada tindak pidana korupsi,” tutur akademisi hukum Unej
yang lagi naik daun ini.
Di beberapa kasus Operasi Tangkap Tangan
(OTT) KPK terhadap pejabat di Pemerintah Provinsi Jambi dan Anggota DPRD Jambi
baru-baru ini misalnya, karena ada praktik menerima suap guna memperlancar
pembahasan dan persetujuan RAPBD.
“Ini menunjukkan bahwa pembahasan dan
pemberian persetujuan APBD sangat rentan dipengaruhi oleh kepentingan di luar
substansi perencanaan anggaran itu sendiri,” tukasnya lagi.
Untuk itu UU Pemerintahan Daerah telah
memberikan solusi apabila setelah berbagai upaya dilakukan sungguh-sungguh
namun tetap deadlock antara Kepala Daerah dan DPRD untuk mengesahkan RAPBD
yakni tertuang di pasal 313 UU Pemerintahan Daerah.
“Apabila kepala daerah dan DPRD tidak
mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak
disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh Kepala Daerah kepada DPRD, Kepala
Daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka
APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan,” jelas
Bayu.
Dengan demikian situasi tidak dapat terjadinya kesepahaman bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD dalam pembahasan RAPBD pada dasarnya sudah diantisipasi oleh UU Pemerintahan Daerah.
Artinya hukum sangat memahami bahwa
tidak boleh terjadi pemaksaan kehendak harus dilakukan persetujuan dalam hal
salah satu pihak tidak dapat menerima persyaratan yang diajukan oleh pihak
lainnya.
Sementara itu kata Bayu, UU Pemerintahan
Daerah telah menjamin program pembangunan dan pelayanan publik kepada rakyat
tidak akan berhenti karena deadlock terjadi.
“Jaminan yang dimaksud adalah Kepala
Daerah tetap dapat menjalankan APBD yang ditetapkannya sendiri dengan Perkada
sepanjang besaran APBD tidak melebihi angka APBD tahun anggaran sebelumnya,”
pungkasnya.
Posting Komentar untuk "Pakar Hukum HTN Unej Angkat Bicara soal Deadlock RAPBD 2018 Jember"